Sontak kaget ketika disodori dan membacanya, naskah yang berjudul LITHUANIA atau biasa disadur dg judul ORANG ASING karya Rupert Brooke. Terngiang sebuah peristiwa yg terjadi pertengahan th 70an. Nyaris sama!
Minggu pagi sehabis Subuh.
Pintu rumah diketuk dan aku buka. Seorang pemuda dg tampilan bersih, rapi, ganteng menggendong rangsel cukup besar ada dihadapanku, memandang tubuhku yg msh sekolah SD Kelas I, menunduk n tersenyum kepadaku; " ...bapaknya ada dik?tanya kepadaku. Tanpa menjawab lebih dulu, justru aku langsung memanggil bapak yg sedang memberi makan ayam di belakang rumah;"...paaak ono tamu! Bapakpun datang menyambut kedatangan pemuda yg nampak dari kota. Dipersilahkannya duduk n berbincang. Benar bahwa pemuda itu dari kota yaitu Jakarta yg baru turun dr bus malam dan berhenti depan garasi bus Ramayana. Mau pulang ke desa asalnya namun lupa jalan n alamat rumah yg semestinya. Bingung tentu saja. Yang diingatnya cuma nama dusun Blongkeng. Langsung saja bapak menawari untuk mengantarnya, sekalian mengajakku jalan2 nonton Jathilan di Tersan Gede Ngluwar. Pemuda td sangat senang sembari minum teh buatan ibuku n menyapa kakak2ku n mencium tangan ibuku. Aku n bapak siap2, mandi dan ganti baju. Bapakpun segera mengeluarkan sepeda motor DKW warna coklat n siap berangkat. Tak dinyana pemuda itu membagi bagikan uang kepadaku n kakak2ku masing2 selembar uang kertas Rp 100,-. Kegembiraan kanak2 yg mengejutkan, bgmn tidak itu pertama kali nemegang uang senilai Rp 100,-. Uang saku sebulan. Ibupun tak kalah terkejutnya saat ditinggali uang senilai Rp 10.000,- sangat besar ukuran saat itu, hampir sebesar gaji bapak sebulan. Bapakpun terpana tak bisa bicara sepatah katapun. "...tidak apa2 pak, saya senang dengan keluarga bapak, ini bukan upah ataupun apa, bentuk trima kasih jg tidak, yah saya mencintai keluarga bapak, itu saja", jelasnya. Bertiga, aku duduk didepan berangkat.
Pintu rumah diketuk dan aku buka. Seorang pemuda dg tampilan bersih, rapi, ganteng menggendong rangsel cukup besar ada dihadapanku, memandang tubuhku yg msh sekolah SD Kelas I, menunduk n tersenyum kepadaku; " ...bapaknya ada dik?tanya kepadaku. Tanpa menjawab lebih dulu, justru aku langsung memanggil bapak yg sedang memberi makan ayam di belakang rumah;"...paaak ono tamu! Bapakpun datang menyambut kedatangan pemuda yg nampak dari kota. Dipersilahkannya duduk n berbincang. Benar bahwa pemuda itu dari kota yaitu Jakarta yg baru turun dr bus malam dan berhenti depan garasi bus Ramayana. Mau pulang ke desa asalnya namun lupa jalan n alamat rumah yg semestinya. Bingung tentu saja. Yang diingatnya cuma nama dusun Blongkeng. Langsung saja bapak menawari untuk mengantarnya, sekalian mengajakku jalan2 nonton Jathilan di Tersan Gede Ngluwar. Pemuda td sangat senang sembari minum teh buatan ibuku n menyapa kakak2ku n mencium tangan ibuku. Aku n bapak siap2, mandi dan ganti baju. Bapakpun segera mengeluarkan sepeda motor DKW warna coklat n siap berangkat. Tak dinyana pemuda itu membagi bagikan uang kepadaku n kakak2ku masing2 selembar uang kertas Rp 100,-. Kegembiraan kanak2 yg mengejutkan, bgmn tidak itu pertama kali nemegang uang senilai Rp 100,-. Uang saku sebulan. Ibupun tak kalah terkejutnya saat ditinggali uang senilai Rp 10.000,- sangat besar ukuran saat itu, hampir sebesar gaji bapak sebulan. Bapakpun terpana tak bisa bicara sepatah katapun. "...tidak apa2 pak, saya senang dengan keluarga bapak, ini bukan upah ataupun apa, bentuk trima kasih jg tidak, yah saya mencintai keluarga bapak, itu saja", jelasnya. Bertiga, aku duduk didepan berangkat.
Pemuda itu bernama Prasetya bgtlah waktu memperkenalkannya. Dia memanggilku adik Andoko. Berjalanlah kami bertiga melewati dusun Gulon, Seloboro n Sirahan. Selepas ds Sirahan mendekati pertigaan jembatan kali Putih mas Prasetya minta turun disitu, padahal bapak berniat mengantarkan hingga depan rumah, namun ditolakknya.
"Sudah pak ...disini saja saya cm ingat jembatan ini, pastinya saya lupa dimana rumah orang tua saya, biarlah sekalian jalan jalan mencari cari sendiri" katanya. Apa boleh buat, bapakpun menghentikan DKWnya. Mas Prasetyapun berbinar tersenyum lebar mengucapkan trima kasih. Diapun mengeluarkan selembar uang Rp1000,- utk bapak untuk beli bensin katanya. Bukan main kaya n dernawannya, batinku. Kamipun berpisah dg tanda tanya besar sekaligus kekaguman pd diri pemuda bernama Prasetya.
Tetap duduk didepan, aku n bapak menuju Tersan Gede Ngluwar menonton paertunjukan Jathilan hingga sore hari. Suka cita. Jelas. Seorang kanak2 menonton saja adl keceriaan tersendiri terlebih uang saku yg teramat besar dikantongnya. Jajan apa saja yg aku ingini hingga sepanjang seperjalanan pulang menari bak Jathilan kesurupan.
Sampai dua hari kemudian keceriaan itu tetap terasa. Dalam perbincangan keluarga serumah nama Prasetya dg segala keramahan n kedermawaan annya selalu saja disebut. Terhenti. Pagi, tiga hari setelah pertemuan dg Prasetya, tersiar kabar yg secara "gepok tular" begitu menggemparkan yakni terbunuhnya pemuda bernama Prasetya. Belum juga kasak kusuk berita kematian Prasetya reda, selang beberapa jam kemudian secara "gepok tular" terdengar kabar berita kenatian dua orang (perempuan dan laki2) dengan cara gantung diri dirumahnya.
Bbrp kali polisi sempat meminta keterangan pd bapak dan ibuku, namun krn indikasi peristiwa itu sudah jelas secara hukum, keterangan dr bapak dan ibu sekedar melengkapi berita acara saja. Motif pembunuhan terhadap Prasetya n bunuh diri terkuak begitu meyakinkan setelah pihak kepolisian n aparatur desa melakukan investfigasi secara detail kronologinya beberapa bulan kemudian.
Flash Back
Masih kisaran trauma'65.
Sarmo (bapak), Lasih (istri Sarmo), Praseya (anak) berusia 18 th dan Lasiyah (adik Prasetya) umur 9 th. Antara Prasetya n Lasiyah masih ada tiga anak lagi namun ketiganya meninggal dunia ketika masih kanak kanak. Masa paceklik dan sangat minimnya obat obatan sebagai penyebab kenatian ketiga anak tsb. Beberapa bulan sebelum G 30 S/PKI , karena selalu saja terhimpit oleh kekurangan, Prasetya memutuskan untuk mengadu peruntungan di Jakarta dan akhirnya bekerja pada saudagar China yg namanya begitu terkenal hingga sekarang ini. Begitu G 30 S/PKI meletus, pak Sarmo dipenjarakan dan dibuang di Nusakambangan sampai th 1971.
Masih kisaran trauma'65.
Sarmo (bapak), Lasih (istri Sarmo), Praseya (anak) berusia 18 th dan Lasiyah (adik Prasetya) umur 9 th. Antara Prasetya n Lasiyah masih ada tiga anak lagi namun ketiganya meninggal dunia ketika masih kanak kanak. Masa paceklik dan sangat minimnya obat obatan sebagai penyebab kenatian ketiga anak tsb. Beberapa bulan sebelum G 30 S/PKI , karena selalu saja terhimpit oleh kekurangan, Prasetya memutuskan untuk mengadu peruntungan di Jakarta dan akhirnya bekerja pada saudagar China yg namanya begitu terkenal hingga sekarang ini. Begitu G 30 S/PKI meletus, pak Sarmo dipenjarakan dan dibuang di Nusakambangan sampai th 1971.
Kembali ke desa asal bekerja sebagai tukang "dongklak" ( pembelah kayu bagian bawah pohon yg tersisa untuk kayu bakar). Betapa kecil upahnya. Lasih yg sempat merawat Lasiyah sendirian sebagai tukang "ngasak" (pemetik padi sisa panen). Stigma PKI menjadi penjara sosial yg kuat menjadikan keluarga Sarmo hidup separuh dilubang kuburan. Miskin. Tentu saja. Lasiyah yg beranjak dewasa dan akan dipersunting pemuda dari Sayeganpun urung karena stigma PKI yg melekat pd kluarganya. Tambahkan pula kemiskinannya jd barang hinaan yg tertuju kepadanya. Lasiyah akhirnya mengabdikan diri sebagai pelayan/tukang masak di Klentheng Muntilan. Sekali seminggu pulang menengok orang tuanya.
Kedatangan Prasetya sedianya akan memberi kejutan pd orang tuanya jg adiknya. Menyamar sebagai seorang yg tersesat dan memohon numpang sementara. Penyamarannya berhasil. Kedua orang tuanya jg adik perempuannya lupa, benar2 lupa siapa pemuda yg menginap di rumahnya. Prasetyapun semakin senang dg keadaan seperti itu, meskipun tidur beralaskan tikar n memakin "nasi aking" n ikan asin. Tetap saja Prasetya belum mau mengaku siapa dirinya. Lasiyah yg cuma ketemu sebentar karena sorenya harus kembali ke Muntilan sempat terheran n bertanya tanya. Dua hari dua malam sudah Prasetya menikmati penyamarannya. Pak Sarmo dan bu Lasih senakin heran n mulai gelisah; apa yg akan disuguhkan besok (makan).
Sore hari, Prasetya pamit utk jalan2 dipinggir kali Progo; barangkali ingin mengingat masa kecilnya.
Iblispun menyelinap masuk kerumah. Seperginya Prasetya, pak Sarmo menggeledah rangsel Prasetya yg ternyata berisi beberapa potong pakaian dan bergepok gepok uang kertatas tertata rapi. Iblispun merasuki jari jemari pak Sarmo n berhasil menguasai hampir seluruh tubuhnya. Saat itu juga terbersit utk menghabisi nyawa Prasetya n memiliki uangnya. Disiapkannya kampak yg biasa ia gunakan utk membelah "dongklak" tanpa sepengetahuan istrinya.
Menjelang Magrib, Prasetya pulang langsuk masuk karena pintu dibiarkannya terbuka.
Breesssshhhh.....tengkuknya dihujam kampak, masih terjaga dan masih bisa berteriak"....paaaakkkk aku Prasetyaaaa paaakkk, buuuuuu....." , jeritnya. Pak Sarmo yang sudah dikuasai iblis kembali menghujamkan kampaknya kearah kepala. Tak ada lg jeritan. Prasetya tewas seketika.
Lasih yg baru saja sampai depan rumah teriak kegirangan mendengar nama Prasetya disebut n diteriakkan. Namun, begitulah yg terjadi rumah separuh bubrah penuh dengan darah. Kedua orang tua Prasetya tertatih masing masing mengambil tali n gantung diri.
Lithuania/Orang Asing karya Rupert Brooke 1915 alur ceritanya kurang lebih sama dg kisah Prasetya tewas di MATA KAPAK yg BUTA. Nampak seperti dongeng memang, namun pernah terjadi.
Pocung
Dongeng iku kaya ngimpi tanpa turu
Saknhabaning mata
Nanging nyata pangrasane
Kebak crita sinamun ing samudana
Dongeng iku kaya ngimpi tanpa turu
Saknhabaning mata
Nanging nyata pangrasane
Kebak crita sinamun ing samudana
Oleh:
Gati Andoko